SEJARAH

Sekilas Kota Metro

Saat ini Metro sedang meletakkan dasar bagi perkembangan sebuah kota masa depan. Ruang publik dan hutan kota dirawat dan ditambah untuk paru-paru kota dan tempat komunikasi warga. Jalan protokol dan jalan utama dihijaukan. Ruas jalan masuk dan keluar Metro dilebarkan. Pelebaran dan pengaspalan Jl. Jenderal Sudirman (Ganjar Agung, dst) telah selesai dirampungkan, sedangkan Jalan Alamsyah Ratu Perwiranegara (dulu Jl. Unyi) kini dalam tahap penyelesaian. Sarana jalan bagi kelancaran arus lalu lintas sangat penting artinya bagi kota yang dikenal sebagai kota penting kedua di Provinsi Lampung ini.
Metro tidak hanya menjadi tempat mencari nafkah penduduknya. Penduduk kabupaten yang berbatasan langsung dengan wilayah ini, Lampung Tengah dan Lampung Timur, mencari nafkah dengan berdagang dan menjual jasa. Karena itu, di siang hari penduduk Metro lebih banyak dibanding jumlah penduduk resminya.
Pusat perdagangan Metro tersebar di beberapa tempat. Perdagangan barang jadi, pakaian, tekstil, elektronik, dan barang kebutuhan sekunder lainnya, bisa ditemukan di Shopping Center dan Pasar Cendrawasih. Bagi penggemar otomotif kompleks pertokoan Sumur Bandung merupakan tempat berburu onderdil otomotif dan aksesorinya. Pusat niaga juga ada ketika pagi-pagi di Ganjar Agung dan 16c tempat jualan sayur-mayur dan komoditas pertanian lainnya. Di kompleks pertokoan Sumur Bandung berdiri bangunan Chandra Supermarket dan Swalayan.
Walau Metro sebuah kota kecil, tempo dulu sekitar tahun 1990-an telah bediri 3 bioskop yaitu Nuban Ria, Metropol Chandra, dan Shopping. Namun yang saat ini masih beroperasi hanya di Chandra.
Terletak 46 kilometer dari Bandar Lampung, Ibu Kota Provinsi Lampung, Metro juga dikenal sebagai Kota Pendidikan. Setiap pagi angkutan umum dari Lampung Tengah dan Lampung Timur penuh dengan pelajar yang menimba ilmu di kota ini. Demikian sebaliknya di siang hari saat pulang sekolah. Angkutan kota tersebar ke segala penjuru wilayah yang mempermudah mobilitas penduduk Metro.
Untuk mendukung Metro sebagai kota pendidikan dibangun sebuah gedung perpustakaan di jantung kota. Bangunan ini dilengkapi sumber pustaka dan air conditioning. Dibangun sejak tahun 2002 dan sekarang sudah beroperasi. Perpustakaan yang dibiayai anggaran pemerintah daerah ini merupakan langkah awal jangka panjang menyediakan jasa pendidikan bagi kabupaten sekitarnya.
Bagi yang berminat kuliah di perguruan tinggi di kota ini , terdapat beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta, di antaranya Universitas Muhammadiyah Metro, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Agus Salim, Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Negeri, Sekolah Tinggi Agama Islam Ma'arif, Sekolah Tinggi Pertanian, Akademi Pertanian, dan PGSD Unila. Kini pemerintah Kota Metro sedang mengupayakan agar Universitas Lampung membuka Fakultas Hukum di Metro (tidak lagi difungsikan dan menjadi Universitas Terbuka).
Sejarah panjang Kota Metro telah mengantarkan wilayah yang dulunya Bedeng bermetamorfosis menjadi sebuah kota yang sebenarnya. Sebuah wilayah dengan pusat konsentrasi penduduk dengan segala aspek kehidupannya mulai dari bidang pemerintahan, sosial politik, ekonomi dan budaya.
Ciri kota yang sangat menonjol adalah fisik wilayah yang telah terbangun, tersedianya fasilitas sosial dan public utilities, serta mobilitas penduduk yang tinggi.
Seluruh media yang ada di Kota Metro merupakan penunjang kemajuan Kota Metro sendiri, ada banyak sekali media-media yang turut menyumbang dan mendukung visi mis kota metro salah satunya adalah Berita Kota Metro

Sejarah Kota Metro

Bangsa Indonesia sudah lama dijajah Belanda. Banyak hasil bumi yang dibawa ke sana dan digunakan untuk membangun negeri Kincir Angin tersebut. Tidak mengherankan ketika pemuda pemudi Indonesia mulai mendirikan perkumpulan untuk Indonesia merdeka, orang Belanda Tidak suka.
Akan tetapi, bagaimana pun kejamnya kaum penjajah itu, ternyata mereka juga meninggalkan banyak kenangan. Misalnya, perpindahan penduduk dari daerah padat dan miskin di Pulau Jawa, yang sekarang dikenal dengan nama transmigrasi. Program itu pada zaman penjajahan Hindia Belanda disebut kolonisasi. Tujuannya disamping pemerataan penduduk, orang-orang yang dipindahkan itu akan dipekerjakan pada perkebunan-perkebunan milik pemerintah Hindia Belanda yang berada di luar Pulau Jawa. Sebagian lagi ditempatkan di daerah-daerah baru untuk membuka lahan pertanian dan perkebunan baru.
Program kolonisasi itu dimulai tahun 1905. Pada awalnya hanya dilakukan di dalam Pulau Jawa, kemudian berkembang di luar Pulau Jawa, yaitu ke Pulau Sumatera, tapatnya di daerah Lampung.
Menjelang tahun 1932 sudah banyak keluarga Jawa yang dikirim ke Lampung dan ditempatkan di daerah Gedongtataan, Kota Agung, Wonosobo, dan sekitarnya. Baru pada tahun 1932 pemerintah Hindia Belanda mulai mengirimkan para kolonis (penduduk) itu ke daerah utara. Mereka ditempatkan di daerah Trimurjo, tepatnya di desa Adipuro yang dikenal dengan sebutan bedeng 1 atau BD 1. Salah seorang yang ikut program kolonisasi itu adalah Mbah Sumohadi (sekarang usianya sekitar 80 tahun), yang tinggal di BD 41 Desa Batangharjo, Kecamatan Batanghari, Kabupaten Lampung Tengah. Menurut Mbah Sum, panggilan akrabnya, waktu itu mereka ditempatkan di rumah-rumah yang dinamakan “bedeng”. Setiap orang mendapatkan alat-alat pertanian.
Lalu, kenang Mbah Sum, lahan pertanian yang disuruh kerjakan itu diberi patok=patok sebagai batas. Rumah atau bedeng itu dibuat dengan menggunakan tiang karena daerah itu masih berupa hutan lebat dan banyak binatang buas. Untuk setiap beberapa bedeng ditempatkan pengawas. Ada pula mantra kesehatan yang memberikan obat bila ada orang yang sakit. Penyakit yang diderita umumnya malaria.
Setiap calon desa waktu itu terdiri atas beberapa rumah bedeng. Makin lama derah yang ditempati makin ramai karena sudah banyak hutan yang dibuka, sedangkan penduduk ditempatkan di daerah yang dikenal dengan nama Metro. Untuk dapat ke lokasi BD 15 mereka harus menempuh perjalanan panjang melalui Kotagajah, Gedongdalem, kemudian terus ke Metro. Antara tahun 1932 – 1935 belum ada jalan yang bisa dilewati kendaraan dari Trimurjo ke Metro, walaupun jaraknya sekitar 10 km.
Akan tetapi, menurut beberapa cerita, jalan dari Trimurjo ke Metro dirintis oleh Kolonis atas perintah dari penjajah Belanda. Karena banyak tanah rawanya, di atas jalan itu diletakkan kayu-kayu bulat agar dapat dilalui gerobak dan kendaraan milik orang Belanda.
Akhirnya, daerah sekitar Kota Metro dapat dijangkau dalam waktu singkat. Setelah jalan tembus dibuka, kemajuan kolonis di BD 15 begitu cepat. Kolonis di daerah Sukadana pun mengalami perkembangan pesat bahkan melebihi perkembangan daerah kolonis pertama di Gedongtataan, Lampung Selatan. Desa induk yang dibuat Belanda tanggal 5 Juni 1937 dipindahkan secara resmi ke Metro sebagai desa induk pengganti. Itu dilakukan melihat perkembangan Metro yang sangat pesat.
Tentang asal nama Metro itu sendiri ada dua cerita. Pertama, diambil dari bahasa Belanda, yaitu centrum yang berarti pusat. Kedua, Kota Metro diberikan oleh para kolonis dari Jawa. Pada waktu itu, orang-orang Jawa yang ditempatkan di BD 15 merasa senasib sepenaggungan, memiliki bahasa yang sama. Jadi, semua kolonis menanggung susah dan senang bersama-sama.
Dari perasaan itulah mereka semula menyebutkan tempat itu sebagai Mitro, berarti rekan. Lama-kelamaan pengucapannya berubah menjadi Metro. Sampai sekarang daerah itu dinamakan Metro. Menutu buku Dari Kolonisasi ke Transmigrasi pada tahun 1939 di Metro terdapat seorang kontrolir Belanda, seorang insinyur, dan seorang dokter pemerintah. Metro sebagai ibukota kolonisasi Sukadana bahkan telah memiliki pasar besar, kantor pos, pesanggrahan, masjid, dan penerangan listrik.
Sampai tahun 1941 di Metro sudah ada 2 orang dokter, 13 orang mantri dan juru rawat, 1 orang mantri malaria, 80 orang pembagi kinina (?), 2 orang pembantu klinik, dan 1 orang bidan. Di samping itu ada berbagai sekolah khususnya sekolah yang dikelola misi Katolik. Sejak tahun 1941 saluran irigasi dari Trimurjo terus diperpanjang dan tahun 1942 saluran yang dikenal oleh masyarakat Lampung Tengah dengan sebutan ledeng sudah mencapai Batanghari. Dengan perkembangan yang begitu pesat, dengan sendirinya derah sekitar Metro juga ikut berkembang dan tetap menggunakan nama bedeng.

Ilustrasi
Tidak mengherankan kalau di sekitar Metro dibuka lagi bedeng-bedeng baru sampai bedeng 67 yang kini berada di Kecamatan Sekampung. Di kota Metro sendiri bedeng-bedeng itu dipecah lagi, seperti bedeng 15 polos, bedeng 15 A, bedeng 15 B Barat, bedeng 15 B Timur, bedeng 15 Kauman, bedeng 21 polos, bedeng 21 B, bedeng 21 C, bedeng 21 D, bedeng 22, bedeng 16, bedeng 16 A, dan sampai bedeng 16 C.
Biasanya, di belakang nomor bedeng ditulis nama desanya, misalnya bedeng 16 C Mulyojati. Demikian pula penamaan bedeng lainnya yang sampai sekarang terbatas pada bedeng 67. Namun satu bedeng tidak semua menjadi satu desa. Ada juga satu bedeng dibagi menjadi dua desa, tergantung luas desa dan jumlah penduduknya.
Demikianlah asal usul Kota Metro yang sampai saat ini sudah berusia 73 tahun. Saat ini Metro merupakan kota administratif kedua di Lampung setelah Bandar Lampung. Kota Metro terdiri kecamatan Metro Raya dan Bantul.
Kesimpulan
Dari asal usul Kota Metro, sangat terasa bahwa masyarakat Indonesia memiliki sifat gotong royong, saling menolong, serta sangat menghargai jasa-jasa dan karya cipta orang-orang yang lebih dahulu berbuat untuk orang banyak

Mata Pencaharian Penduduk

Mata pencaharian penduduk Kota Metro pada tahun 2005 bergerak pada sektor jasa (28,56%), sektor perdagangan (28,18), sektor pertanian (23,97%), transportasi dan komunikasi (9,84%) serta konstruksi (5,63%)

Hari Jadi Kota Metro

Sejarah kelahiran Kota Metro bermula dengan dibangunnya sebuah induk desa baru yang diberi nama Trimurjo. Dibangunnya desa ini dimaksudkan untuk menampung sebagian dari kolonis yang didatangkan oleh perintah Hindia belanda pada tahun 1934 dan 1935, serta untuk menampung kolonis-kolonis yang akan didatangkan berikutnya.
Kedatangan kolonis pertama didesa Trimurjo yaitu pada hari sabtu tanggal 4 April 1936 yang ditempatkan pada bedeng-bedeng kemudian diberi penomoran kelompok bedeng, dan sampai saat ini istilah penomorannya masih populer dan masih dipergunakan oleh masyarakat Kota Metro pada umumnya.
Setelah ditempati oleh para kolonis, daerah bukaan baru yang termasuk dalam kewedanaan sukadana yaitu Marga Unyi dan Buay Nuba ini berkembang dengan pesat. Daerah ini menjadi semakin terbuka dan penduduk kolonispun semakin bertambah, sementara kegiatan perekonomian mulai tambah dan berkembang.
Berdasarkan keputusan rapat Dewan Marga tanggal 17 Mei 1937 daerah kolonisasi ini dipisahkan dari hubungan marga. Dan pada Hari selasa tanggal 9 juni 1937 nama desa Trimurjo diganti dengan nama Metro. Tanggal 9 juni inilah yang menjadi dasar penetapan Hari Jadi Kota Metro, sebagaimana yang telah dituangkan dalam perda Nomor 11 Tahun 2002 tentang Hari Jadi Kota Metro.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Toad Jumping Up and Down